0 Comments
Tanya: Kakak paling suka POV yang mana? Kenapa? Emang bedanya apa dengan POV yang lain?
Jawab: Wah pertanyaannya beruntun hihihi, ok, ini jawabannya ya. Aku suka POV orang ketiga, karena sudut pandang ini dapat mengetahui semua kejadian yang ada di setiap karakter cerita. Kalau ditanya bedanya apa, sepertinya lebih baik aku beri contoh saja ya, menggunakan dua foto ini. Kedua foto ini diambil di Bridge of Sighs (terjemahan bebasnya Jembatan Desahan), di Venice, Italy. Jembatan yang panjangnya cuma sebelas meter ini menghubungkan ruang pengadilan di gedung sebelah kiri (yang temboknya ada ukiran manusia) dan penjara di gedung sebelah kanan (yang temboknya lusuh). Setiap kali seseorang diputuskan bersalah, orang itu akan berjalan melalui jembatan ini dari gedung pengadilan ke penjara di gedung tetangga. Karenanya disebut sebagai Jembatan penuh dengan desah (sedih, takut, dll). Foto kiri adalah tampak luar jembatan, foto kanan diambil dari dalam jembatan. (Jembatannya ada atapnya jadi 1) dari luar tidak kelihatan siapa yang ada di dalamnya, 2) bagian dalamnya enggak basah kalau hujan) Cukup membahas jembatan, mari kembali ke urusan POV. POV (point of view / sudut pandang) orang pertama menceritakan apa yang dilihat/ dipikirkan / dirasakan oleh tokoh utama cerita. Di foto ini tokoh utamanya adalah turis yang memotret Bridge of Sigh dari luar. Jadi dengan POV orang pertama ceritanya menjadi: Aku akhirnya sampai di sini. Betapa aku beruntung dapat melihat keindahan jembatan yang terkenal seantero jagat. Walau aku harus berdesak-desakan dengan turis lain untuk mengambil gambarnya, aku akhirnya berhasil memotret jembatan ini. Sungguh tak ku sangka, berapa ribu orang mengantre untuk melihat jembatan yang hanya sebesar ini. Bisa dilihat, semua menggunakan aku, aku, aku, aku. Menurut saya ceritanya jadi terbatas, karena tidak mungkin si “aku” tahu apa yang terjadi dengan tokoh lain di cerita jika mereka tidak berada di waktu dan tempat yang sama. Lebih tidak mungkin lagi si “aku” tahu apa yang dipikirkan/ dirasakan oleh tokoh lain. Ia mungkin dapat menebak2 / menduga / berasumsi, tapi tidak akan tahu pasti. Sekarang POV orang kedua, di foto ini jadi sudut pandang penjahat yang divonis masuk penjara. Ia berjalan di jembatan dan memandang keluar kisi jembatan, melihat si turis. Kamu berdiri di sana, mengagumi jembatan ini. Kamu tidak tahu bagaimana perasaan orang-orang yang harus berjalan di jembatan ini. Kamu bebas merdeka menghirup udara segar, tanpa tahu betapa pengapnya udara di jembatan ini. Semuanya menggunakan kamu, kamu, kamu. Ini POV yang saya paling tidak suka karena seperti menggurui/ memberi instruksi nonstop. Kamu begini, kamu begitu. POV orang ketiga adalah sudut pandang seorang dalang/ juru cerita yang dapat melihat si turis dan si penjahat sekaligus. Turis itu sibuk memotreti jembatan. Ia tidak tahu kalau warna pucat jembatan itu sepucat warna wajah orang-orang yang harus berjalan di jembatan itu. Para pesakitan yang hanya mampu berdesah, meratapi kehilangan kebebesan mereka. Dapat dilihat, dengan POV ini, si juru cerita dapat menceritakan apa yang terjadi dari sisi turis, dan dari sisi pesakitan. Kalau ceritanya kompleks seperti novel-novel saya, POV ketiga ini membantu sekali untuk membuat pembaca mengerti alur cerita dan mengapa setiap tokoh melakukan apa yang mereka lakukan. Semoga penjelasan ini mudah dimengerti dannnnn…, jangan lupa, setiap penulis bebas mengambil POV yang diminati. Tidak ada keharusan apalagi peraturan. Ambil POV yang paling cocok dengan gaya tulisanmu tanpa perlu mengikuti gaya penulis lain. Selamat menulis!
Misalnya, kamu punya ide menulis cerita tentang anak kecil yang bisa terbang. Belum apa-apa kamu udah menyanggah dengan, “ah mana bisa anak kecil terbang“. Mati deh idemu.
Padahal kalau idemu dikembangkan menjadi: anak kecil yang bisa terbang dengan menempelkan kemoceng di bahunya, mungkin itu bakal bisa menjadi cerita yang luar biasa menarik. Kamu bisa berkhayal tentang apa saja yang akan dilakukan anak itu, dengan kemocengnya, sampai akhirnya ia bisa terbang. Menarik kan? Karena itu, untuk memikirkan alur cerita kamu butuh membebaskan diri dari rutinitas, sehingga kamu bisa membayangkan apa yang terjadi dengan tokoh-tokoh di ceritamu. Dengan kata lain, liarkan imajinasimu. Caranya? Ketika suatu ide, sebercik peristiwa, setitik perasaan datang, lepaskan, biarkan liar berkembang di kepalamu. Persis seperti menyaksikan awan melayang atau masuk ke dalam ruangan tak dikenal dan kamu tercengang melihat isinya. Coba pakai contoh foto ini. “Apa yang terlintas di kepalamu, jika kamu masuk ruangan dan melihat seekor unicorn?“ Stop, jangan dipotong dengan, “mana ada sih yang namanya unicorn? Boong aja.“ Sekedar informasi, foto ini saya sendiri yang menjepret di dalam Istana Hellbrunn di Salzburg dan unicorn itu bukan punya saya. Jadi? Ayo balik lagi ke pertanyaannya. “Apa yang terlintas di kepalamu, jika kamu masuk ruangan dan melihat seekor unicorn?“ Apa yang unicorn itu lakukan? Siapa yang punya? Bagaimana kisah hidupnya? Bagaimana si pemilik unicorn dapat bertemu dengan sang unicorn? Apa yang mereka lakukan bersama? Liarkan imajinasimu ! Amati setiap detail imajinasimu, resapi hal-hal yang menyentuh perasaanmu, yang membuat kamu senang, atau tercengang, atau tertawa, atau sedih. Unicorn itu membuatmu takut atau terpana? Bagaimana kira-kira karakter si pemilik unicorn? Baik atau jahat? Juga bayangkan bagaimana jika ide itu terus dikembangkan, dengan menambah karakter tokoh (yang menyebalkan misalnya), dengan mengganti tempat (dari istana mewah ke gang sempit bau), dan seterusnya. Ambil waktu sampai semua khayalan seliar mungkin berseliweran di dalam kepalamu. Jika kamu sudah mampu melihat semuanya, mulailah ditulis. Jangan takut, menulis ini hanya agar kamu tidak lupa apa isi khayalanmu. Apakah nantinya akan dipakai semua atau dibuang semua, itu terserah dirimu sendiri. Yang penting kamu sudah mampu menjalin jalan cerita yang seru. Selamat mencoba dan selamat menulis! |
Let's write!
A collection of Q&A about the writing world (in Indonesian Language). Will be posted periodically, one theme per month. Archives
August 2019
Categories |