Di masa ini nyaris semua orang punya jam. Baik jam dinding, jam meja, jam tangan, jam di laptop, atau pun jam di smartphone, dalam berbagai bentuk dan harga. Tapi, ironisnya, banyak orang tak punya waktu.
Tak heran, banyak yang bertanya ke saya, “aku pengen banget nulis, tapi kapan waktunya?“ Percayalah, ini juga pertanyaan yang saya tanyakan ke diri saya sendiri. Tanpa pembantu, urusan rumah tangga bisa jadi cerita tanpa akhir. Ditambah lagi saya punya halaman yang juga harus dicangkul, dicabuti tanaman liarnya, dibersihkan hamanya, disiram, dipotong dan entah apa lagi. Akibatnya tidak mungkin saya duduk menulis dari pagi sampai malam nonstop. (Mungkin sih, tapi risikonya anak-anak kelaparan dan tanaman kerontang). Lalu bagaimana? Menunda menulis juga tidak mungkin buat saya, karena biasanya ide di dalam kepala sudah meluap-luap, meledak-ledak, bergemuruh minta ditulis. Jadi, yang biasanya saya lakukan adalah: 1. Menulis sesuai nurani Jika hati senang semua terasa mudah. Hal ini berlaku untuk semua hal dan terutama dalam hal penulisan. Semakin kita senang dengan tema yang kita tulis, semakin kita bersedia mengambil waktu untuk menulis, dan sebaliknya. Walau terdengar tidak profesional, tapi tidak ada yang lebih menyiksa, ketimbang terpaksa menulis sesuatu yang menyebalkan/ mengecewakan/ membuat marah/ menyedihkan/ membuat nurani tidak nyaman (Jika tidak percaya, coba saja ingat masa-masa di sekolah ketika harus menulis laporan yang temanya kita tidak suka). Jadi jika kamu ingin menulis, tapi keberatan mengambil waktu untuk menulis, coba tanyakan jujur ke diri sendiri: Apakah yang akan ditulis sudah sesuai nuranimu atau malah membuatkesal/ sedih/ marah/ malas? 2. Mempersiapkan sebelumnya Dengan waktu terbatas, saya tidak dapat menghabiskan waktu menatap layar laptop berlama-lama tanpa mengetik satu kata pun. Masalahnya, ide datang tidak sekaligus. Jadi saya kumpulkan dulu semua ide, cuplikan adegan, dialog para tokoh di dalam kepala saya. Catat agar tidak hilang/ lupa. Jika tulisan butuh informasi yang saya tidak punya, saya gunakan waktu untuk browsing data dan bukan untuk menulis. Baru kalau sudah ada bayangan jelas mau menulis apa, saya mulai menulis. Sehingga waktu menulis jadi efisien. 3. Mencuri waktu Ketika anak-anak masih kecil, saya memakai waktu menunggu mereka keluar sekolah untuk menulis. Di tempat parkir biasanya saya cari pojok sepi dan menulis. Bagi yang malu nenteng-nenteng laptop, text bisa ditulis dulu di hape dan nanti di transfer ke laptop. Sekarang anak-anak sudah remaja dan tak lagi dijemput, mencuri waktunya di antara aktivitas sehari-hari (terima kasih kepada teknologi yang memudahkan mencuri waktu). Misalnya ketika menggoreng sesuatu yang harus ditunggui sebelum dibalik. Daripada saya memulai kontemplasi memandangi isi wajan, saya menggunakan hape untuk browsing data tambahan bagi cerita/ artikel. Hal ini bisa dilakukan dengan cepat dan efisien. Walau hanya beberapa menit per sesi (namanya juga nyolong waktu, kalau kelamaan browsing bisa gosong makanannya) tapi bisa dilakukan sesering saya mau. Makanan selesai digoreng, data-data pun selesai dibaca. Saya juga menggunakan pertolongan App yang dapat mengubah suara menjadi text. Jadi kapan saja ada waktu yang bisa diseling, saya bisa mengoceh-ngoceh dan hape pun menulis ocehan saya menjadi text. 4. Menyesuaikan sikon Ada orang yang lebih mudah berkonsentrasi di pagi hari, ada yang lebih mudah di malam hari. Pilihlah waktu menulis sesuai kemudahan berkonsentrasi dan situasi kondisi yang ada. Ketika anak-anak masih kecil, saya bekerja di malam hari ketika mereka sudah tidur. Sekarang, kalau menunggu mereka tidur lebih dulu, saya bakal jadi kelelawar. Jadi sekarang saya menulis di pagi hari, ketika semua tanaman sudah selesai disirami, atau semua salju sudah selesai disekopi (tergantung cuacanya). 5. Memasang timer Maksimum, saya bisa duduk menulis nonstop selama satu jam. Biasanya malah hanya setengah jam saja. Agar saya tidak perlu memandangi jam terus menerus (takut telat melakukan hal lain lagi), saya memasang timer (jam dapur yang bisa diputar sesuai menit yang dibutuhkan). Dengan demikian saya dapat full berkonsentrasi menulis tanpa cemas. Dan ketika timer berbunyi, saya pun berhenti menulis, siap melakukan hal lainnya. PS: Tentu saja dapat menggunakan timer di hape, tapi saya tidak suka menaruh hape di dekat laptop ketika saya menulis. Karena keinginan untuk menjawab chat tinggi dan akibatnya saya bisa mengabaikan tulisan saya. 6. Membuat “What to write” list Sadar kalau saya tidak dapat menulis semuanya sekaligus, saya membuat jurnal/ agenda/ daftar apa yang harus ditulis hari itu. Hal ini sangat membantu saya fokus dengan apa yang kali ini harus saya tulis. Karena ide-ide yang tidak berhubungan dengan apa yang harus saya tulis, bisa dipeti es kan terlebih dahulu. Data-data juga dibatasi hanya yang membantu tulisan, sisanya dipakai lain kali. 7. Menjadikan rutinitas Rutinitas membantu melancarkan isi kepala bekerjasama dengan jemari. Seperti layaknya kerja tim, tak kenal maka tak sayang. Jika jemari kita jarang berkenalan dengan kumpulan ide di dalam kepala, mereka juga suka ragu-ragu bekerja sama. Tapi jika tiap hari jemari menuangkan isi kepala ke dalam bentuk yang bisa kita baca, lama-lama mereka pun senang bekerja sama. Mereka bahkan merasa bersalah kalau beberapa hari tidak bertemu /menulis. 8. Memasang target waktu Harus saya akui, saya sering mengalami procrastination. Kalau ada yang lebih menarik untuk dilakukan, tulisan pun dibiarkan menanti. Enak kalau ada deadline. Artikel harus selesai dalam tiga hari, misalnya, pasti saya lakukan on time. Tapi jika tidak ada, yah.. mungkin artikel juga akan jadi dalam tiga hari, tapi entah di tahun berapa. Karenanya, saya biasanya memasang target waktu. One chapter a week, atau satu cerpen per minggu, atau satu novel dalam enam bulan. Tulis di agenda jika perlu, agar kita tahu kalau ada deadline tulisan menanti. 9. Mengurangi gangguan sosial media Jujur saja, dalam sehari, berapa lama kita mengecek sosmed kita. Ditambah dengan memberi “like” ke orang lain, berkomentar, dan posting, jumlah waktu yang terpakai semakin banyak. Plus dihitung juga waktu memakai WA, LINE, Messenger dan segala macam jenis chat lainnya. Jika dalam sehari kita dapat menggunakan sosmed atau nge-chat berjam-jam, coba kurangi satu jam saja untuk menulis karya yang selama ini ada di pikiran. 10. Mengurangi mengkritik diri Seringkali kita lah yang senang menyabotase diri sendiri. Baru menulis satu kalimat, langsung di delete lagi. Baru menulis satu paragraf, langsung diganti temanya. Baru mau nulis, sudah pesimis enggak ada yang bakal baca. Jika terus berlanjut, jangan heran kalau proyek menulis gagal total. Jadi? Tulis saja dulu. Setelah selesai baru diedit pelan-pelan agar tidak ada yang terlewat. Kalau diri sendiri mulai kumat mengkritik, tutup mata, tarik napas panjang, hembuskan napas keras-keras, buka mata, tetap lah menulis. Kalau perlu, ucapkan mantra ini: koreksi dilakukan belakangan. Semoga kesepuluh tips ini dapat membantu siapa saja yang ingin menulis tapi selalu kekurangan waktu. Selamat menulis!
0 Comments
|
Let's write!
A collection of Q&A about the writing world (in Indonesian Language). Will be posted periodically, one theme per month. Archives
August 2019
Categories |