Dengan sendirinya, karena jumlah kata lebih banyak, jumlah halaman juga makin bertambah. Karena itu cerita pendek hanya 2 halaman, sementara novel 200 halaman. Beda berikut adalah di banyaknya penjelasan yang ditulis. Semakin panjang tulisan, semakin banyak penjelasan yang mendukung tema yang ditulis. Namun banyaknya penjelasan, tidak selalu membuat tema makin jelas, bisa jadi malah menimbulkan banyak pertanyaan baru. Sehingga, semakin panjang tulisan, masalah juga bertambah rumit dan kompleks. Untuk itu - menjawab pertanyaan berikutnya - yang penulis harus lakukan adalah menyediakan lebih banyak bahan. Seperti penjahit yang hendak membuat baju ukuran L. Ia tentunya harus menyiapkan bahan baju yang lebih banyak ketimbang ketika ia membuat baju ukuran S. Kalau penulis, yang diperbanyak adalah bahan tulisan. Caranya dengan banyak bertanya dan memberi informasi lebih di ceritanya. Masih bingung? OK saya coba dengan contoh nyata. Untuk itu saya mengambil lirik lagu “Naik Delman“ yang dibuat Ibu Sud : Pada hari minggu ku turut ayah ke kota. Naik delman istimewa ku duduk di muka. Ku duduk samping pak kusir yang sedang bekerja. Mengendarai kuda supaya baik jalannya. Hei! Tuk tik tak tik tuk tik tak tik tuk tik tak tik tuk. Tuk tik tak tik tuk tik tak suara sepatu kuda. Bayangkan jika lirik di atas dijadikan pictorial book untuk anak balita. Ceritanya super singkat, super mini, XS kalau jadi baju, padat dan pendek. Cukup untuk 5 halaman cerita bergambar. Selesai. Halaman pertama gambar si anak dan ayahnya yang hendak bepergian. Halaman kedua, mereka naik delman. Halaman ketiga, si anak duduk di depan. Halaman keempat, kusir yang mengendarai kuda. Halaman kelima, semua ceria mendengar suara sepatu kuda. Lalu bayangkan pictorial book itu jadi cerita pendek (cerpen). Kalau baju, dari XS jadi S atau mini. Dibedakan panjangnya untuk majalah anak-anak, cerita selesai dalam 1 – 3 halaman A4, sementara cerpen untuk majalah dewasa, cerita selesai dalam 6 – 8 halaman A4 (Spasi 2). Kalau saya mengambil lirik “Naik Delman“ di atas, lima kalimat itu harus dikembangkan menjadi paragraf agar mampu menjadi cerpen. Bagaimana caranya? Dengan memberi beberapa pertanyaan dan menjadikan jawabannya sebagai bagian cerita. Contoh pertanyaan: 1. Kenapa di hari minggu itu ayah harus pergi ke kota? 2. Kenapa memilih delman bukan alat transportasi lainnya? 3. Berapa jauh kota dengan tempat tinggal si anak/ ayah? 4. Kenapa si anak yang duduk di sebelah kusir? 5. Berapa lama mereka sampai di kota? 6. Apa yang terjadi di kota? 7. Bagaimana mereka kembali ke rumah? Jawaban-jawaban dari pertanyaan-pertanyaan ini lalu digabung dengan kalimat di atas. Tiap kalimat menjadi tema paragraf. Dengan sendirinya cerita berkembang, jumlah kata bertambah banyak. Contoh jawaban yang sudah diolah menjadi cerita: Pada hari minggu kuturut ayah ke kota menjadi: Hari minggu itu ayahku harus ke kota untuk menemui rekan bisnisnya. Ia mengajakku serta, karena ia ingin memperlihatkan isi kota padaku setelah urusan bisnisnya selesai. Ayahku tahu, kalau sampai sekarang aku belum pernah mengunjungi kota itu….. (terus dilanjutkan sesuai keinginan) Kini naik lagi setingkat. Cerpen menjadi cerita bersambung (cerber). Ini midi atau M. Biasanya sekitar 50 halaman A4 (Spasi 2). Caranya? Ya lebih banyak bertanya-tanya lagi dan beri masalah tambahan. Misalnya: 1. Apa yang terjadi sebelum berangkat? Adakah yang bangun kesiangan? Kenapa cuma si anak dan ayah, kemana ibunya? Apa yang dilakukan ibunya? Apakah ada anak lain lagi yang ikut? 2. Ketika naik delman, bagaimana rasanya? Nyamankah? Apa yang terjadi selama perjalanan? Apakah terjadi kecelakaan? Apa yang dilihat selama perjalanan? Apa delmannya berhenti dulu karena sang kuda butuh minum? 3. Ketika di kota, apa yang dilakukan di sana? Apa ada masalah? Apa mereka sampai tepat waktu? Kalau mereka telat, apa yang dilakukan? Apakah yang dilakukan di kota sesuai harapan? 4. Bagaimana dengan perjalan ke rumah? Dan seterusnya. Sampai cerita berkembang terus.
He? Ternyata ada ayah tiri dan ayah kandung (kalau mau jadi novel drama misalnya). Atau ketika di kota, ayahnya terlibat dalam urusan kriminal dan si anak jadi curiga (kalau mau jadi novel detektif misalnya). Dan seterusnya. Namun hati-hati, jangan sampai temanya jadi tenggelam, kalau sudah terlalu banyak pertanyaan dan jawaban. Nanti temanya bukan lagi naik delman, tapi jadi naik bajaj. Lho? Terakhir, yang harus penulis siapkan adalah stamina. Semakin panjang tulisan, semakin banyak stamina. Tetap fokus kepada tulisan yang mau ditulis. Bagi penulis yang cepat bosan, ya mungkin lebih baik menulis di area mini, midi. Karena kalau dipaksa menulis maxi, bisa-bisa berhenti di tengah jalan dan mengganti tema tulisan. Bagi penulis yang suka memberikan penjelasan detil, coba menulis midi, maxi. Bagi yang bisa semua, ya silahkan tulis semua. Bagi pemula, coba dulu mini. Kalau dirasa mini tidak mampu menampung hasrat ide penulisan yang terpendam, ya tambahkan jadi midi. Kalau jumlah kata masih kurang juga, jadikan maxi. Bagaimana jika terbalik? Sukanya menulis panjang-panjang tapi ingin membuat mini? Jawabannya, belajar mengedit. Saya sendiri, jujur, penggemar midi maxi. Namun karena saya juga penulis artikel majalah yang dibatasi hanya 2 – 3 halaman saja, saya jadi belajar menulis mini. Caranya, walau hati merintih karena sudah menulis panjang-panjang, cari dan ambil hanya bagian yang paling penting, buang sisanya. Sayang donk, informasi yang terbuang? Iya. Karenanya saya menggunakan informasi yang terbuang untuk menjadi artikel baru atau novel.
Sudah jelas kah sekarang? Terima kasih atas perhatiannya dannnnn tetap menulis!
4 Comments
|
Let's write!
A collection of Q&A about the writing world (in Indonesian Language). Will be posted periodically, one theme per month. Archives
August 2019
Categories |